Kelas Bunda Sayang Institut Ibu Profesional usai kami lewati. Lebih dari 1 tahun kami menempa diri dengan 12 materi seputar pendidikan anak dan keluarga.
Setelah menjalankannya, apa yang kami sekeluarga rasakan?
Bagi saya pribadi, ada banyak makna, hikmah dan pencapaian yang dirasakan, diantaranya,
1. Belajar mengenai gamifikasi dalam proses transformasi menjadi ibu profesional
Pertama kali saya bergabung dengan kelas Bunda Sayang, saya merasa berat untuk mengerjakan tantangan setiap hari. Kemudian berkompetisi tanpa sadar dengan kemalasan diri untuk bisa setor tugas setiap hari atau mendapatkan badge YE maupun OP. Keberhasilan teman-teman memicu saya untuk mengerjakan lebih baik lagi. Lelah sempat menghinggapi.
Namun di kelas Bunda Sayang, Allah sampaikan saya pada sebuah titik. Mengantarkan saya pada pemahaman mengenai gamifikasi. Hingga akhirnya saya menyadari bahwa adanya tantangan 10 hari, game di setiap level serta badge apresiasi untuk setiap ketuntasan materi, merupakan sebuah pengaplikasian gamifikasi untuk materi-materi di kelas belajar Institut Ibu Profesional.
Menerawang masa lalu. Saya bergabung di komunitas Ibu Profesional sejak awal tahun 2014. Banyak ilmu yang bertebaran dan bermanfaat. Namun kesulitan yang pernah saya alami adalah,
“Bagaimana mempraktikkan ilmu ini satu persatu dalam setiap lini keseharian?”
“Bagaimana mengajak para ibu untuk berproses bersama dan merasakan manfaatnya?”
Jawabannya ada di kelas Bunda Sayang. Ya, mempraktikkan ilmu satu persatu dalam keseharian dengan mengerjakan tantangan 10 hari yang dapat dilanjutkan hingga menjadi kebiasaan dan karakter diri. Dengan membuat tulisan di media sosial sebagai setoran tantangan juga akan membuat teman kita menjadi penasaran dan mencari tahu mengenai Ibu Profesional. Mengajak tanpa sadar, melalui aksi inspiratif.
Dengan gamifikasi, proses pembelajaran memang tidak menjadi ringan, namun proses terasa menyenangkan dan bisa kita jalani dengan bahagia. Dengan menentukan tujuan akhir kita dalam mengikuti kuliah Bunda Sayang sejak awal kelas berlangsung, akan memudahkan kita untuk menjaga fokus dan terhindar dari godaan distraksi.
2. Menelusuri dan lebih memahami kapasitas diri.
Menjalankan proses belajar sebagai peserta sekaligus fasilitator merupakan sebuah tantangan tersendiri. Amanah dan target kerja berkejaran dengan waktu yang ada. Namun, kerapkali daya kelola kita justru muncul di saat genting. Dan memang benar adanya. Sikap perfeksionis saya dalam mengerjakan tugas justru membuat saya seringkali menunda pengerjaan tugas. Berharap sempurna namun justru tak terkerjakan.
Saya harus memiliki strategi agar dua peran ini bisa berjalan dengan sinergis. Skala prioritas pun diterapkan. Tugas sebagai fasilitator dulu, baru sebagai peserta kelas. Karena amanah sebagai fasilitator menyangkut kepentingan orang banyak, ibu-ibu lain dan keluarga lain. Sedangkan tugas sebagai peserta adalah tanggungan saya pribadi dan keluarga kecil saya. Berupaya menyederhanakan tantangan dan mengerjakan dengan sederhana. Menyelaraskan standar pencapaian dengan kapasitas yang dimiliki. Mencoba fokus pada hal-hal yang krusial dan memastikannya tuntas dikerjakan. Baru beranjak ke level prioritas yang lebih rendah. Bongkar pasang strategi dalam manajemen waktu dan manajemen gawai untuk mendapatkan formula yang paling efektif.
3. Mengajak keluarga besar untuk terlibat
Keluarga adalah orang-orang terdekat kita. Selayaknya, mereka lah pihak yang pertama merasakan kebermanfaatan diri kdan ilmu yang kita dapatkan. Saat menjalankan kelas Bunda Sayang, saya berjauhan dengan suami ( saya di Jombang, suami di Bandung berlajut di Austria) dan tinggal bersama orangtua dan adik saya. Mungkin kondisi ini kurang ideal, namun saya yakin ini adalah kondisi terbaik yang Allah pilihkan untuk saya. Bisa jadi, Allah utus saya di kondisi seperti ini adalah untuk menguatkan komunikasi batin saya dengan suami, sekaligus membudayakan komunikasi produktif di lingkaran keluarga besar. Materi komunikasi produktif terasa amat menantang. Berupaya menjalankan komunikasi produktif dengan suami dalam keadaan berjauhan, membangun komunikasi produktif di keluarga juga lingkungan baru.
Namun, Allah selalu berikan tantangan sepaket dengan solusinya. Di awal kelas Bunda Sayang, partisipasi saya di Lomba Dongeng Jombang yang kemudian membawa pulang kemenangan, membangun silaturrahim dengan pengelola sebuah taman baca. Beliau kemudian mengajak saya sharing mengenai parenting. Saya bersedia dengan syarat, saya sharing sepaket dengan suami, saat suami pulang ke Jombang. Maka, dua bulan berikutnya kami pun sharing dengan tema My Family, My Team. Saat momen tersebut, kami mengajak kedua pasang orangtua kami untuk turut serta. Bukan, bukan untuk mendengarkan kami berbagi. Namun sebagai momen menyelaraskan frekuensi bersama.
Setelah suami berangkat ke Austria, saya rutin mengikuti seminar parenting yang ada di Jombang. Mengajak bapak, ibu juga adik jika waktunya tidak bentrok dengan jadwal beliau. Adik seorang yang kritis. Setiap selesai acara, adik selalu memberikan sudut pandang dan mengajak kami berdiskusi. Momen ini juga kami gunakan untuk berbagi sudut pandang dan saling menyamakan persepsi. Tak jarang kami berbeda pendapat. Wajar, karena kami memang tak sedang mencari persamaan, namun mensinergiskan pemikiran.
Mendaftarkan ibu mengikuti kelas matrikulasi Ibu Profesional, meski belum berhasil lulus. Memang target saya bukan itu. Menjelaskan amanah sebagai fasilitator kelas di Institut Ibu Profesional beserta konsekuensinya adalah sebuah hal yang abstrak. Terlihat sering berinteraksi dengan gawai, menghadap ke laptop untuk seorang dengan profesi ibu rumah tangga, mungkin membuat gemas orangtua kita. Dan itu wajar, karena kita dan orangtua adalah generasi yang berbeda, bisa jadi ada gap dalam memaknai fungsi teknologi. Maka, saya mencoba mengkomunikasikan dengan mengajak ibu terlibat. Dengan masuk di kelas matrikulasi, kami mendapat materi yang serupa dengan cara yang serupa.
Di penghujung 2017, Allah menakdirkan saya dan keluarga untuk mengunjungi adik di Serang, Banten. Di saat yang sama, saya sedang memegang amanah menjadi fasilitator kelas Bunda Sayang wilayah Banten, Cirebon, Cianjur, dan Garut. Maka saya bersama peserta kelas Bunda Sayang sepakat mengadakan kopdar singkat di sebuah pesantren Tahfidz yang diampu salah seorang peserta kelas. Ibu dan adik pun turut serta di acara ini. Melihat langsung apa yang kami bahas dan diskusikan. Saling transfer energi, berbagi solusi dan strategi tantangan dalam menjalankan peran sebagai ibu dan istri. Terselip rekam memori positif dan adik dan ibu mengenai amanah yang saya emban. Alhamdulillah.
Foto bersama ibu, anak-anak dan teman-teman IP Banten
Tiga poin diatas merupakan makna dan pembelajaran yang paling saya dan keluarga rasakan. Ada maksud besar Allah dalam setiap episode perjalanan kita. Bisa jadi kita tidak bisa memilih episode mana yang akan datang di hadapan kita, namun kita dapat menentukan seoptimal apa kita berupaya dan menjalankan proses kita.
Surat cinta sudah saya kirimkan pada suami via email. Undangan wisuda juga sudah tersampaikan pada beliau dan ibu. Form penilaian juga sudah saya dan suami isi masing-masing. Hasil penilaian saya dan suami sama-sama kami screenshoot. Lalu coba saya jumlahkan masing-masing, ternyata menunjukkan angka yang sama, 77. Memang kami menggunakan penilaian yang sederhana, tidak sesuai range yang dalam form. Hanya mengacu di angka 1 s.d 5. Memang ada beda angka di beberapa pertanyaan, namun menunjukkan angka yang sama saat dijumlahkan. Semoga angka ini semakin menguatkan bonding keluarga kami, menguatkan komunikasi lahir batin kami berdua dan membawa maslahat dunia akhirat.
Event selebrasi di keluarga akan kami adakan esok hari, setelah wisuda online. Tak muluk-muluk, saya ingin didoakan oleh papa dan ibu supaya ilmu yang didapatkan mengantarkan pada keberkahan dan kebermanfaatan.
Kelas bunda sayang memang telah usai, namun membumikan ilmunya akan terus berlangsung sepanjang hayat.
Alhamdulillah wa syukurillah, terimakasih Ya Allah atas nikmat dan karunia yang amat luar biasa ini.
Terimakasih anak-anak atas kesediaannya berproses bersama ummi.
Terimakasih suami, papa dan ibu atas ridho, pengertian dan kesempatan yang diberikan.
Terimakasih bu Septi dan padepokan Margosari atas curah pembinaan yang intensif diberikan.
Terimakasih teh Chika dan teman-teman fasilitator generasi sulung yang amat kooperatif.
Terimakasih peserta kelas Bunda Sayang atas kebersamaannya.
Terimakasih semuanya, semoga kita senantiasa dalam ridhoNya.
Salam Ibu Profesional,
Mesa Dewi Puspita
Comments