Memasuki akhir tahun 2017, Ibu Profesional Surabaya Raya akan punya gawe besar yaitu masa Serah terima dan transisi Kepengurusan kota baru. Proses ini sudah mulai diawali dengan masa rekrutmen dan proses magangnya sejak bulan Agustus 2017. Kemarin Rabu, 20 Desember 2017 kami berkesempatan mengadakan kegiatan belajar kunjungan Studi banding dengan lembaga yang kami nilai berprogress maju dan punya karakteristik unik. Dan pilihan kami jatuh ke Lembaga Sosial Nurul Hayat Surabaya yang sudah memiliki cabang luas di pulau Jawa dan bergerak di Sociopreneur.
10 orang pengurus lama dan pengurus magang disambut baik oleh tim Nurul Hayat. Ketua yayasan, Bapak Muh. Molik Latief sebagai Ketua Yayasan langsung turut hadir dan memberikan sambutan penjelasan mengenai sejarah berdirinya Nurul Hayat. Didampingi bapak Azhar selaku Direktur KBIH, Ibu Denik selaku bagian HRD dan Direksi Operasional. Pukul 08.30 – 12.00 WIB Diskusi berlangsung hangat, menarik dan antusias.
Berikut beberapa catatan belajar (Learning Point) yang saya rangkum untuk manfaat Komunitas dan Personal.
Komunitas
Pertama, yang paling menarik terlihat dalam institusi Yayasan Nurul Hayat (NH) adalah bagaimana Misi dan Core Value mereka yaitu “mengabdi kepada Allah dan melayani Umat” ruh nya dapat terasa di setiap program pelayanan sosial dan juga perilaku karyawannya saat melayani customer. Beberapa pengurus yang kali pertama hadir di Gedung NH pun merasakan dari melihat sepintas suasana ruangan, sapaan keramahan pelayanan petugas. Pak Molik bercerita bagaimana kali pertama Nurul Hayat ini berawal dari arisan keluarga lalu bertransformasi menjadi sebuah Yayasan Sosial yang sistem kerjanya Profesional layaknya dunia Industri. Seringnya Value ini dibangun dengan melalui training-training, kajian-kajian internal untuk pengurus dan karyawan dari level Direksi sampai satpam. Inilah yang menjadikan Internalisasi misi dan value perusahaan masuk dan menjadi value karyawan juga. Karena dilakukan secara massif tersistem dan kontinyu di setiap kegiatan.
Kedua, Tranformasi dari yayasan keluarga menuju Lembaga Profesional ditahun 2004 hingga 2008 banyak diwarnai dengan sikap cermat, cerdas, open minded dan kreatif menghadapi perubahan tantangan keadaan menjadi sebuah peluang program yang menarik dan unik dibanding layanan sosial sekelasnya. Ada sebuah cerita inspiratif, seperti saat pengurus mendapat cerita di daerah kawasan perumahan Elit di Surabaya. Ada sebuah keluarga yang kesulitan mencari mudin (juru perawatan jenazah) sehingga jenazah orang tua mereka berjam-jam tidak ada yang bisa merawat bahkan sekedar memandikan apalagi mensholati. Maka, masalah ini dijadikan sebuah peluang kebaikan sekaligus peluang bisnis bagi NH. Jadilah layanan program pelayanan Jenazah dari mobil ambulance, merawat jenazah, lengkap sampai mudin untuk mensholati. Program ini menjadi kekinian dan menarik bagi segmen umat yang butuh efisien dan praktis dalam proses penyelenggaraan. Satu hal lagi yang menurut saya unik, yaitu kalau kita memahami bahwa budaya Aqiqah itu umum dengan pengajian dan tasyakuran saja yang tanpa dekorasi. Dengan cermat melihat permintaan dan kebutuhan customer kini, NH bisa menjadikan layanan Aqiqah sesuai permintaan rasa menu makanan yang variatif ditambah dengan dekorasi rumah sohibul hajat yang menarik. Ada keranjang bayi, dan sajian meja panggung, perlengkapan gunting nampan yang dihias bunga-bunga indah layaknya acara Baby Shower artis-artis kekinian. Menarik, solutif, dan prospek market banget kan?. Ada sebuah jargon unik setiap kali sapa pagi “Nurul Hayat, onok ‘ae” (Nurul Hayat ada aja kegiatan/program nya-pen). Ketika tantangan, masalah, berubah menjadi sebuah peluang keberkahan. Tergantung bagaimana cara pandang dan sikap kita menghadapinya.
Ketiga, dari hasil diskusi direksi pihak NH saya menangkap keterikatan kerja (work engagement) para karyawannnya –menurut penuturan pihak HRD- sangat lekat dekat bagaimana membangun sebuah rasa makna keterikatan bagaimana tempat bekerja mereka sekarang adalah layaknya keluarga kedua. Maka sistem kesejahteraan pengupahan harus dipastikan para karyawan sejahtera. Bagaimana bisa bekerja dengan hati lapang dada jika kesejahteraan keluarga utama mereka masih belum terpenuhi. Ada banyak proses pemaknaan bekerja yang dilatarbelakangi pada mindset spiritual. Seperti ketika para karyawan berlelah harus menyiapkan proses Idul Qurban yang sampai penyalurannya sampai masuk desa, banyaknya donator yang harus bersusah payah datang untuk mengeluarkan sekian digit uang untuk bersedekah, sedangkan para karyawan itu diberi kemudahan untuk membuat baik dengan membantu para donator tersebut. Layaknya belajar, menolong, beramal yang dibayar rutin.
Keempat, kuatnya core value kemandirian di lembaga sosial ini. Pertanyaan utama yang saya kantongi ketika berniat berangkat adalah bagaimana strategi bisnis sosial ini sehingga dana SDM/Karyawan mereka sampai tidak mengambil jatah sedikitpun dari uang ZIS donator? Walaupun mereka punya hak atas dana donator, namun hak tersebut tidak diambil demi menjaga kemuliaan peran bahwa seolah keberadaan peran mereka tidak menjadi peluang atau aji mumpung mengumpulkan dana sedekah. Ternyata, strategi bisnis mereka setiap ada pemekaran wilayah, maka yang menjadi prasyarat hadir adalah selama ada resource wilayah cabang layak untuk siap mendidrikan bisnis cabang usaha NH, maka disitulah akan menjadi bibit berdirinya kantor layanan NH. Ambil contoh saja, unit usaha layanan Aqiqoh Nurul Hayat yang terkenal itu (saya termasuk pengguna layanan ini yang terkesan). Jika disebuah kota kecil ada juru masak, tukang potong kambing, peternak kambing, yang amanah dan siap dibina maka unit usaha Aqiqoh NH ini siap dibuka. Dan dilihat progressnya, sehingga bisa menghasilkan profit usaha. Jika Unit usaha di kota ini sudah tetap dan mapan maka profit yang dihasilkan cukup membayari gaji para karyawan kantor NH yang akan di bangun di kota tersebut.
Bahkan rasa bangga atas profesi juga tampak pada bagaimana karyawan diajari memaknai peran profesinya, misal: profesi Juru pungut/fundraising, maka disebutnya sebagai Pemelihara kehidupan anak yatim, maksudnya mereka yang bertugas menjamin kesejahteraan kehidupan anak yatim dengan rutin memungut dana dari donatur. Pemaknaan bekerja ini yang saya tangkap sebagai bentuk calling-panggilan hidup dalam memaknai pekerjaan kita. Lalu saya teringat tema Leader Camp Ibu Profesional 2018 nanti, bahwa saatnya kita menjadi Ibu yang berdikari-mandiri dan punya jati diri.
Saat itu pun, saya menilas balik untuk apa kami para pengurus hadir di ruangan ini, repot-repot mengurus komunitas Ibu Profesional yang jelas-jelas tidak dibayar, tidak diberi uang gaji/lelah, sering terima banyak komplain dari member atau peserta jika tidak didasari motivasi/niat/misi untuk memaknai peran menjadi ibu yang lebih dari sekedar menjadi baik untuk diri, anak, keluarga namun juga mengajak ibu yang lain.
Kelima, Pelajaran lain betapa pentingnya belajar dengan sistem inside out. Menguatkan sisi internal dulu sehingga sebuah gerak perubahan dan amal itu kuat berawal dari pondasi yang mengakar. Ada sistem pemberdayaan yang dimulai dari dalam dulu. Di NH para karyawan dibiasakan di kontrol amal sunnah hariannya, program Ih’yaus sunnah. Seperti puasa sunnah, tiawah al qur’an, sholat Tahajud, bersedekah pagi, sedekah pagi dan petang. Melalui amal harian sunnah ini akan mempengaruhi penilaian karyawan yang terhubung dengan aplikasi penilaian performa di laporan HRD. Menurut penuturan bu Denik (manajer operasional dan HRD) karyawan yang ihyaus sunnah nya baik dan menunjukkan progresif walau lamban, berkaitan erat dengan kinerja karyawan dalam melayani customer. Saya pun menarik benang merah, mengkorelasikan bagaimana berlakunya sistem Ibu Profesional di Segitiga terbalik itu, ketika sisi segitiga limas atas itu kuat, maka keterlibatan dan amal aplikatifnya di segitiga limas bawah juga akan otomatis menguat. Maka sebuah kekeliruan jika seorang member/peserta di Ibu Profesional hanya aktif dan ingin mengambil manfaat di kelas-kelas IIP tanpa keinginan untuk terlibat dan berkontribusi aktif di ranah offline (berkomunitas).
Sedangkan catatan belajar bagi saya pribadi:
Pertama, betapa sebuah misi dan karakteristik unik sebuah organisasi/institusi/komunitas bahkan untuk level keluarga itu perlu waktu dan proses yang panjang sebagai upaya menginternalisasi kedalam bentuk kegiatan-kegiatan agar value itu menancap kuat. Selain juga dibutuhkan keteladanan dan sosok figur sebagai penguat proses internalisasi tersebut. Digaungkan terus menerus, bertahun-tahun, dan dikawal dengan proses keteladanan dan apresiasi yang berkelanjutan. Ada sebuah proses belajar (learning organization). Ada Value, ada sistem, ada apresiasi dan kegiatan program yang menguji-membangunnya secara terus menerus.
Kedua, Value kemandirian di NH ini begitu mengesankan bagi saya, karena salah satu value keluarga kami juga adalah “Kemandirian” bagaimana value ini merasuk dan mendarah daging disetiap kegiatan tindak tanduk rasa terwarnai oleh value ini. Saya banyak belajar, bahwa keyakinan akan sebuah value juga membawa konsekuensi logis bahwa akan ada ujian di penerapan valuenya.
Ketiga, saat sesi studi banding ini, saya seolah mendapat bonus Training Motivasi Spiritual, karena apa yang disampaikan oleh Pak Moelik begitu lekat dengan orientasi Spiritual. Saya diingatkan kembali bagaimana rasa ikhlas itu bekerja dan berada, dan menjaga nya tetap berada di atas puncak motivasi dan niat agar seluruh apa yang sudah kita kerjakan, lakukan itu benar-benar berbuah pahala dan keridhoan Allah. Karena yang dikhawatirkan, jangan-jangan kita sibuk tapi bangkrut, alias sibuk lelah tapi tiada bekas amal baiknya. Hanya karena salah meletakkan niat dan menjaga keikhlasan.
Keempat, Melihat sosok pak Molik yang low profil begitu pula dengan perjalanan hidunya yang resepnya beliau sampai berada pada posisi ini adalah berkat doa orang tuanya. Saya dalam diam mengagumi bagaimana seorang Leader Yayasan layaknya beliau begitu dekat, hangat, mengayomi dan bersahabat dengan karyawan sampai melayani customernya sendiri. Hal ini saya tangkap karena para karyawannya memberikan testimoni demikian, termasuk jajaran direksi bu Denik, pak Azhar. Jika jadi Leader No Baper, harus lebih berlapang dada (legowo), kreatif mencari solusi demi sebuah kemaslahatan, tidak ingin menonjol sendiri. Dan merujuk pada sebuah rasa “menjadi seorang pemimpin yang baik, cerdas, bijak dan hingga meng-inspirasi itu berakar pada sebuah ketuntasan rasa, ketuntasan fokus pada diri sendiri, hingga bisa memikirkan dan membantu orang lain ”.
Kelima, saya mendapat pencerahan tentang service excellent yang lumrah banget di telinga saya kala kerja publik dulu dan kini lupa bahwa metode itu sangat mungkin dilakukan di ranah keluarga. Senyum itu termasuk pancaran hati dan membuat awet muda. Tampak di wajah pak Moelik yang usianya jauh terpaut 19 tahun dengan saya.
“Saya kagum, dan baru tahu ada komunitas sehebat ini (usai pak Moelik melihat kantor virtual web Ibu Profesional). Kita sama-sama berjuang akan kepentingan umat, Ibu Profesional dengan sasaran Ibu terdidik, kamipun juga melakukan di ibu-ibu desa dengan program ta’lim sejenisnya. Semoga semua ini menjadi sarana baik dan yang terpenting mendapat Ridho Allah” – penutup dari pak Moelik.
Bercermin selalu mengajarkan banyak hal, melihat diri dengan citra kebaikan orang lain. Acara studi banding inipun ditutup dengan diskusi dari Pihak Ibu Profesional dan sesi foto bersama. Kemudian kami para pengurus melanjutkan koordinasi terkait rencana kepengurusan kedepan dan Milad. Kemudian malamnya saya bertemu menjalin kerjasama dengan Komunitas Indie Movie untuk menjalin kerjasama lainnya.
Lets always learning-sharing-networking-keep inspiring
Comments